Cerita Seks Pesta Permainan Ngentot Di Kamar Sebelah

Cerita Seks Pesta Permainan Ngentot  Di Kamar Sebelah



LOLI - Mendung masih menggayut di luar sana, ketika kualihkan pandangan dari mikroskop keluar menembus jendela beling besar yang tertutup dengan rapat dan gedung-gedung tinggi di kejauhan tampak samar-samar. Mungkin sudah turun hujan di kawasan sana. Masih terasa cuek juga, walaupun di luar belum turun hujan. Jam dinding di depan sana gres memperlihatkan pukul 13:45, berarti masih ada sekitar 15 menit lagi sebelum jam praktikum ini selesai. Seluruh slide preparat sudah kupelajari dan rasanya tidak ada masalah. Seluruh jenis bakteri yang ada sudah kukenal.

Hanya memang ada 1 preparat yang mungkin sudah bau tanah sehingga agak sulit untuk dilihat, namun risikonya sanggup juga, walaupun membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mencarinya. Tiba-tiba timbul rasa isengku untuk minta pinjaman Caroline melihat preparat itu, soalnya pikiranku juga lagi suntuk, sekalian ingin memantapkan keyakinanku. "Carol, bantu gue dong. Ini preparat apaan sih? Gue susah nih ngeliatnya," begitu pintaku pada doi.

Caroline nama lengkapnya. Biasanya kupanggil Carol saja. Doi ini anak Surabaya asli. Tubuhnya tidak mengecewakan besar tetapi cukup proporsional menurutku. Tinggi badannya sekitar 170 cm. Sangat tinggi untuk cewek Indonesia dan yang niscaya doi ini punya buah dada yang sangat besar menurutku, ibarat buah kelapa mendekati pepaya.

Nah, gundah kan anda membayangkannya? Otak doi cukup tidak mengecewakan berdasarkan pengamatan 2 tahun ini terhadapnya, soalnya dari angka-angka yang diumumkan pada tiap kali kami ujian, doi berada di ranking atas jika tidak A, ya B. Oh ya, sistem ujian kami yakni kenaikan tingkat, jadi tidak ada yang namanya SKS. Pokoknya pegang saja mata kuliah pokok dan lulus, maka kami sanggup naik tingkat. Asal yang minornya tidak jeblok banget. Terus ada enaknya lagi jika sudah lulus tingkat 2 niscaya jadi, maksudnya jadi dokter. Tidak ada lagi DO (drop out). Mau kuliah 10 tahun, lima belas tahun atau hingga bosan. BANDAR CEME

Tetapi kini sudah diganti kurikulumnya menjadi sistem SKS yang menciptakan semakin susah kali ya? "Apaan sich... sini!" pinta doi menanggapi permintaanku. Terus doi putar mikroskopku ke arahnya, soalnya doi duduknya di depanku, jadi jika doi mau membantuku tinggal putar tubuh terus berhadapan. Hanya terhalang oleh ujung meja yang sedikit dibentuk tinggi untuk meletakkan stop kontak dan reagen pewarnaan saja. Makara doi membantuku memperlihatkan mikroskop itu sambil nungging. "Busyet...," tuch toket kini pas sekali sanggup kulihat dari atas bajunya, soalnya doi menggunakan baju yang agak longgar terus nungging, jadi sanggup terlihat dari ketinggian dengan leluasa. Tetapi kuperhatikan tidak ada bra-nya, terus turun ke bawah tetap tidak kelihatan ada bra-nya. Tetapi pentil susunya juga tidak keliatan. Membuat ingin tau saja. Kalau sanggup kuremas mau saya melakukannya, apalagi jika diberikan gratis, betul tidak? Makara semakin penasaran.

Doi ini menggunakan bra, apa tidak ya? Tetapi kulihat samping kanan dan kirinya juga tidak terlihat ada tali bra-nya. Anehnya, jika doi tidak pakai, masa doi berani? pikirku. Otak memang mikir tetapi adikku yang di bawah tidak mikir lagi kali ya? Soalnya eksklusif kencang saja minta perhatian yang lebih. Eh, lama-lama sakit juga. Salah setel kali ya? Makara ya gitu, dengan gaya seadanya tetapi tanpa menarik perhatian publik tentunya, kukemudikan dulu ke jalur yang benar sehingga tidak mengganggu konsentrasi. Kira-kira 7-8 menit, akhirnya, "Fran, ini kayanya BTA? Tapi gue ngga yakin betul, eloe liat deh nih, gue udah passin," begitu lapor doi. Dalam hati aku, "Memang betul BTA," jadi ternyata benar keyakinanku. Apalagi dari 32 preparat yang ada memang bakteri itu yang tidak ada di sediaan lainnya. Tetapi untuk menghormati doi, sekaligus menutup rasa dosaku, sudah melihat pemandangan indah dengan gratis, kemudian saya bangun dan memutari meja untuk melihat hasil investigasi yang ditunjukkan oleh doi. Benar, ibarat dugaanku. Ya sudah. Tidak usang terus bel bunyi.

Kemudian, saya dan teman- sahabat lainnya mulai membereskan peralatannya dan memasukkannya ke lemari masing-masing, lantaran gres dipertanggungjawabkan nanti di tamat semester untuk serah terima ke dosen pengajar labnya. Tidak usang kemudian kami keluar ruangan lab praktikum. Eh, ketika saya sudah di dalam lift untuk turun ke bawah. Sandro, temanku menegurku. "Fran, jadi ngga?" tanya Sandrina. Bertanya apa memaksa, saya jadi bingung. "Jadi Dro," seruku sehabis sempat termenung sejenak. "Tolong bilangin ke temen-temen," lanjutku kemudian sebelum pintu lift itu tertutup dan masih sempat kulihat Sandro mengacungkan ibu jarinya ke atas yang berarti ia mengerti dan menangkap pesanku. Sampai di bawah, wuiiih ramai sekali. Semua bawah umur berkumpul. Biasa, jam-jam ibarat ini anak FE, FIA dan FH gres saja mau masuk kuliah. Biasanya anak FKIP, khususnya yang Psikologi lebih sore lagi. Gedung FK ini sempurna di tengah-tengah, jadi bawah umur dari Fakultas lain suka berkumpul di bawah, mereka sedang duduk-duduk. Setelah memesan makanan kesukaanku, yaitu satekambing untuk mengisi perut yang hanya sempat diisi pagi tadi dengan semangkok soto Madura, kucari tempat duduk dan kulihat ada Sandrina sedang makan sendirian. "San, kosong nich?" tanyaku padanya seraya duduk persis di depannya. Sebenarnya meja ini cukup untuk berempat, tetapi doi hanya sendirian. "He eh," jawabnya singkat dan cukup judes berdasarkan ukuranku.

Anak itu boleh dibilang cantik. Tidak terlalu tinggi, sekitar 165 cm dengan tubuh sedang ideal. Kulitnya putih dengan rambut yang selalu dipotong sebahu. Sifatnya cukup pendiam, jika bicara tenang, seakan memperlihatkan kesan sabar, tetapi yang sering dibicarakan teman-teman yakni judesnya itu yang membuatku juga kadang kala tidak betah. Untungnya, saya tipe orang yang easy going, jadi jarang dimasukkan ke hati. Percuma buat kepala pusing. Tetapi yang saya harus angkat topi sama doi, otaknya, sangat encer. Sebetulnya doi masih muda, tetapi katanya waktu SD sempat loncat kelas, jadi ketika ini doi masih berusia 17 tahun. Bayangkan, umur 17 tahun sudah tingkat II FK. Aje gileee! "Kok manyun San?" tanyaku basa-basi sedikit sebelum mulai makan, lantaran kulihat juga raut wajah doi agak sepet. "Ngapain tadi eloe tanya-tanya ke Carol, apa eloe sendiri ngga sanggup liat?" tanyanya ketus sekali.

Kaget juga aku, saya di ketusin ibarat ini. Tetapi memang benar feelingku, anak ini rasanya agak menaruh hati padaku. Tetapi bagaimana ya? Masalahnya saya belum ingin, paling tidak untuk ketika ini. Masalahnya konsentrasiku ketika ini yakni ingin jadi dokter dulu. Apalagi saya masih ingin happy-happy saja dulu. Makara saya tidak tanggapin serius pertanyaan doi. Tetapi kujawab, "Oh.... bener San, soalnya tuh preparat udah usang kali yah, jadi kaga bagus lagi dan susah bener ngeliatnya. Tapi udah gue tandain kok. Pokoknya ada bunderan kecil di kanan bawah pake tinta hitam, itu yakni BTA (Basil Tahan Asam, biangnya penyakit TBC). Ingat lho di kanan bawah ada bunderan kecilnya. Terus..." Belum sempat kujelaskan semua, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dan bilang, "Jam berapa?" "Eh... eloe Ky, bentar yah, abis gue makan nih," jawabku dengan penuh rasa syukur lantaran jadi kini kami tidak berdua saja dengan Sandrina. Minimal ada pihak ketiga. "Ngga... ngga... ngga..," tiba-tiba Sandrina nyeletuk dengan nada tinggi dan cukup keras mengatasi kebisingan yang ada di kantin ini, ketika Rico hendak duduk di sampingku. "San, sebentar...," pinta Rico sejurus kemudian, lantaran doi juga terkejut dengan ucapan Sandrina yang demikian tajam dengan nada tinggi. "Ngga... ngga... eloe ngerokok," sahutnya ketus. Rico memandangku meminta persetujuan, tetapi saya sedang malas berdebat, jadi saya hanya angkat pundak dan melanjutkan makan siangku secepatnya, semoga tidak terlalu lama.

Selesai makan, saya cepat-cepat pergi. Peduli amat, walaupun Sandrina tampaknya masih sangat kesal, doi pikir saya tolol sekali ya. Tetapi tidak peduli, yang penting saya selamat. Betul, tidak? Di lapangan basket tempat biasa geng saya berkumpul, sudah kulihat cukup lengkap juga anggotanya. Siang hari yang mendung ini masih sempat kulihat si Paul melaksanakan lay-up terakhirnya sebelum kuberteriak untuk berangkat. Kami berenam, Sandro, Rico, Paul, Hengky, Mardiono yang sudah punya kerja sambilan. Saat ini kami menuju tempat kostnya Mardiono dan terus ke kostku sendiri. Kami berjalan menyusuri gang- gang sempit di sekitar kampus ini. Kemudian, tidak usang kami hingga dan eksklusif naik ke atas, kamarnya Mardiono ada di lantai dua. Di atas sini, seluruhnya ada 12 kamar. Maksudnya, 6-6 saling berhadapan. Umumnya satu kamar untuk berdua, tetapi Mardiono mengambil 1 kamar untuk ia sendiri. Katanya ia tidak sanggup berguru serius jika ada sahabat sekamar, apalagi jika dari lain jurusan, begitu alasannya. Bener apa tidak, silakan perkirakan sendiri.



Sebelum masuk ke kamar Mardiono, saya masih sempat memperhatikan kamar di sebelah Mardiono. Masih gelap dan sepi, barangkali mereka belum pada pulang. Di kamar Mardiono, wuuuiiiih... hampir seluruh dinding kamarnya penuh dengan poster dari ukuran yang kecil hingga sebesar meja belajar. Gambarnya memang tidak terlalu seru, seadanya. Kesanku sih begitu, berserakan tidak karuan. Yang penting menempel. Di situ ada gambar Madonna, Prince, Michael Jackson, terus artis-artis dari yang tidak populer dari Hong Kong dan juga Indonesia seperti: Yatti Octavia dan beberapa gambar pemain sepakbola yang saya tidak ketahui namanya. Maklum, saya bukan penggemar bola. Setelah kamar dikunci, Mardiono memperlihatkan pola dengan mengupas perlahan gambar poster tadi di dinding yang terbuat dari kayu itu, dan segera menempelkan matanya pada lubang yang ada di balik poster itu. Ya sudah, kami berebutan mencari poster yang tentunya sesuai dengan ukuran tinggi tubuh kami. Dan, Ya ampun. Hampir di balik seluruh poster yang tertempel di dinding itu kebanyakan ada lubang untuk mengintip ke kamar sebelah.

Aku sendiri memilih-milih lubang, satu cukup tinggi dan satunya lagi di bawah, yang jika kami lihat harus berjongkok atau setengah tiduran. Yang lain juga sudah mendapat posisinya masing-masing. Dari balik lubang tempatku melihat tampak kamar di sebelah tertata dengan apik. Di seberang sana melekat ke dinding kanan ada ranjang, kemudian di sampingnya ada meja komputer, sedangkan yang di sebelah kiri ada pintu lagi, kamar mandi. Dari lubang di bawah, saya tidak sanggup melihat banyak. Mungkin sempurna di kolong meja. Meja berguru maksudnya. "Mar, jam berapa?" tanyaku, "ngga sabar nich." sambil tiduran di lantai, sementara lampu di kamar tetap padam dan suasananya hening sekali. "Sebentar lagi, biasanya sich jam-jam segini," sahutnya bingung. Eh, benar. Tidak usang terdengar pintu kamar ruang sebelah di buka dan sehabis kami menunggu agak usang sedikit, perlahan-lahan kami mulai beraksi dengan membuka poster-poster sesuai pilihan kami masing-masing.

Di kamar sebelah, kulihat ada cewek yang lagi minum eksklusif dari botolnya, dan tampak lehernya yang putih mulus dengan gerakan halus dari jakun yang sedang bekerja melancarkan air tersebut masuk ke tenggorokannya. Pemandangan ini menciptakan penisku mulai sedikit memperlihatkan reaksi. Gila, pemandangan yang indah sekali. Cewek itu belum sanggup kulihat dengan jelas. Yang pasti, rambutnya hitam, panjang sedikit melewati punggungnya dengan perawakan langsing dan tinggi sekitar 160 cm. Mengenakan kaos berwarna pink, tidak terlalu ketat dan rok mini yang juga berwarna pink. Pintu kamar mandi masih terbuka dan terdengar seseorang sedang menumpahkan air di sana dan ketika ia keluar. Ya ampun, saya kenal dengan anak ini. Si Andre, anak tehnik seangkatan dengan aku, dan kukenal doi lantaran sama-sama satu grup ketika P4 dulu. Anaknya cukup supel dan aktif. Ketika kulihat lagi yang cewek, ternyata saya juga mengenalnya. Dia Irene, anak FE juga seangkatan denganku dan kami semua satu grup, Andre, Irene dan aku. Irene sendiri sempat akrab benar dengan aku, soalnya doi juga aktif dan sering berdiskusi dengan aku. Lebih tepatnya berdebat dalam session di P4 itu. Pokoknya seru jika sudah berdebat dengan dia. Tetapi orangnya juga sportif. jika saya benar dalam mempertahankan pendapat tentunya dengan jalan pikiran yang logis, niscaya ia mengakuinya. Selama program P4 yang 2 ahad lebih itu, Irene nempel terus ke aku. Dari saya sendiri suka-suka saja, soalnya saya juga belum punya banyak sahabat ketika itu, demikian juga dia.

Apalagi memang tidak ada ruginya dekat-dekat dengan cewek cantik. Dia dari Pontianak dan tidak banyak anak Pontianak yang masuk Jakarta untuk kuliah. Kalau si Andre sudah dari dulu ia mendekati Irene, jadi kami berdua sering jalan bersama. Andre yakni anak Surabaya, sama dengan Sandrina, hanya ketika itu saya lain group dengan Sandrina, sehingga waktu itu belum akrab benar. Hanya sekedar tahu saja. Memang sudah berulang kali saya bertemu Iren sedang ngobrol bersama Andre. Akhirnya sanggup juga Andre mendekati Irene dan geli juga saya mengingatnya, lantaran dari dulu Andre juga pernah bertanya kepadaku, lebih sempurna mancing-mancing perasaanku ke Irene. Tetapi kubilang ambil saja jika ia mau. Bubar P4 masih seminggu lebih lagi, saya akrab dengan Irene, lantaran kami sama-sama diminta menjadi anggota tim perumus tamat P4. Sesudah itu kami bubaran lantaran kuliahku teratur dari pagi jam 7 hingga jam 2 siang, sedangkan doi tidak tentu. Sesudah itu saya juga tidak terlalu memperhatikanny a. Makara semakin usang semakin jarang bertemu, hingga hari ini gres saya lihat lagi. Andre sempat mengecup pipi Irene sebelum doi duduk dan sibuk di depan komputer, sedangkan Irene kemudian berjalan menuju ke arahku. Semakin dekat... dekat... dekat... Wah gawat, saya menjadi deg... deg... degkan tidak menentu. Saat itu Irene begitu akrab hingga sanggup kulihat dengan hanya dibatasi dinding kayu. Kalau tertangkap lembap saya sedang mengintip kan tengsin juga aku. POKER

Walaupun hati ini kebat-kebit, untung saya masih ingat benar ilmunya si Mardiono. Jangan sekali-kali bergerak jika posisinya begitu, apalagi hingga mengangkat mata dari lubang, lantaran akan ada sinar yang masuk melalui celah dan itu ancaman besar, sanggup membangkitkan perhatian. Kalau mungkin malah jangan berkedip. Makara kutahan mataku untuk menutup lubang itu, sambil berdoa semoga tidak ketahuan, he... he... he... Sudah salah masih minta slamat, dasar manusia, jadi manusiawi. Setelah agak usang Irene karam dalam kesibukannya dan saya merasa aman, perlahan kuangkat mata dari lubang itu dan kututup kembali dengan poster. Kemudian saya pindah ke lubang yang ada di bawah meja. Sekarang yang tampak yakni sepasang kaki yang sangat indah hingga ke pangkal paha putih mulus dengan posisi kaki disilangkan, yang kanan menindih yang kiri. Cukup usang saya mengagumi hal ini dan kemudian tiba-tiba kaki tersebut bergerak. Sekarang ganti kaki kiri yang menumpang di kaki kanan. Saat perpindahan itu sempat terlihat CD doi. Kayanya warna pink juga tetapi sayangnya singkat sekali sehingga tidak sempat kunikmati.

Dengan sabar saya menanti kembali gerakan-gerakan yang tentunya kuharapkan memperlihatkan pandangan hidup yang lebih baik lagi. Tetapi kok tidak kunjung tiba, hingga risikonya penantianku membuahkan hasil. Kakinya sedikit terbuka mengangkang dengan tubuh yang mungkin di condongkan ke meja. Sekarang sanggup ku lihat belahan paha bab dalam terus menyusur ke dalam dengan cahaya seadanya (karena di kolong meja), terus ke dalam memperlihatkan gairah tersendiri yang tanpa sadar penisku juga sudah mulai menegang. Rasanya ingin segera mencari lubang itu dan menyelami dasarnya. Doi menggunakan celana berwarna pink dari materi yang tidak terlalu tebal sehingga masih berbayang rumput hitamnya yang cukup tebal di tengah. Uh, indah sekali. Lima belas menit sudah berlalu rasanya dan belum ada aktifitas lebih lanjut. Lama-lama pegel juga mata dan bosan juga. Itu lagi itu lagi. Dan penisku juga sudah mulai surut, sementara yang diintip membisu saja. Lama- usang kakiku yang kesemutan sendiri. Makara kututup lagi lubang itu. Sekarang saya tiduran di lantai disusul oleh yang lain. Bosan juga rupanya mereka. Orang tidak ngapa-ngapain kok diintip. Samar- samar masih sempat kudengar hujan mulai turun di luar dan rasanya belum terlalu usang saya tidur ketika kakiku di sepak-sepak Paul.

Sialan. Dalam hati, gres juga mau tidur sebentar saja ada yang ganggu. Dan eh, eksklusif saya segera bangun, lantaran teman-temanku sudah sedang asyik di posisi masing- masing. Hanya saya yang ketinggalan. Rasanya saya tertidur tidak terlalu lama. Apa saya pules benar ya? Cepat-cepat saja kubuka lagi lubang yang punyaku dan segera kuintip. "Hhhggg... hggg..." desah Irene sambil mengacak rambut Andre. Kulihat Irene duduk di tepi ranjang, sedangkan Andre berlutut di hadapannya sedang sibuk menjilat belahan paha bagiandalam. Tubuh mulus bab atas Irene sendiri sudah terbuka, demikian juga dengan branya yang tidak terlihat lagi ada dimana. Buah dadanya kencang sekali, cukup besar dan menantang. Gila, tubuhnya putih mulus benar. Nyesel juga, kenapa dulu tidak kuhajar saja. Saat itu penisku juga tidak tanggung- tanggung eksklusif bangun, tegang sekali. Sialan juga temen-temen yang lain, terlambat membangunkanku. Seperti apa permulaannya kan saya tidak lihat. "Aaaccchhh..." desah nikmat Irene seraya mendongakkan kepalanya ke belakang, dan leher jenjangnya benar- benar mempesona. 

Kemudian tangannya menyibakkan rambutnya ke belakang. Sungguh suatu paduan gerakan alami nan menawan. Sejurus kemudian ia membungkuk dan menarik kaos yang dikenakan Andre dan meletakkannya di lantai. Andre sendiri kemudian bangun dan melepaskan celana yang dikenakannya termasuk celana dalamnya. Segera tampak senjata ampuh miliknya yang tentunya di sayang benar dan segera di lahap ujungnya perlahan oleh Irene, dan perlahan mulai mengocoknya berirama hingga pada risikonya seluruh batang kemaluan itu tertelan oleh verbal Irene yang dihiasi bibir mungilnya. Milik Andre rasanya tidak sebesar punyaku, tapi yang di sana rupanya lebih beruntung dari yang punyaku, he he he. "Ren... ach... ach..." rintih Andre yang memuncak nafsunya. Kemudian dikeluarkannya batang itu dan segera Andre mengangkat kaki Irene dan menarik celana dalam serta rok mininya dan terlepas seluruhnya. 

Tetapi tidak sempat kulihat dengan jelas, lantaran Irene segera tertidur di ranjang dan tertutup oleh bayangan pantat Andre yang segera merebahkan tubuhnya di atas tubuh Irene dan mereka mulai bergelut. Sesaat kemudian, Andre turun dari tubuh Irene dan perlahan membelai tubuhnya mulai dari pendengaran kanan, leher, menyusuri pundak berputar-putar di sana sejenak dan terus turun mendekat bukit nan menjulang sebelah kanan dan mendaki namun tidak hingga menyentuh putting. Justru puting itu diam-bil dari puncaknya dengan pengecap Andre yang kini mulai aktif memainkan peranannya. "Ssshhh... achhh..." rintih Irene nikmat. Sekarang tangan kanan Andre sudah semakin menurun dan mencapai perut, terus turun sempurna di jalur tengah menuju pusat, mulai menyibakkan rumput hitam lebat. "Dre... hhhggg.. hhhggg.." Tangan kanan Andre kini sibuk sempurna di pusat itu dan nampak Irene sangat menikmatinya. Perlahan kaki Irene sudah semakin terbuka lebar dan Andre pun sudah kembali mengambil posisi siap di atas. Perlahan Andre mulai menurunkan kaki ketiganya dan menembus, membuka liang nikmat itu perlahan tetapi pasti, seiring dengan kaki Irene yang panjang menekuk menyambut tamunya yang memperlihatkan kenikmatan duniawi.

Memang di sana yakni nirwana dunia. Andre bergerak perlahan memompa, yang tidak usang kemudian sudah seirama dengan gerakan Irene yang diiringi nafas memburu dari Andre dan desah lirih tiada henti dari Irene. Gerakan bergelombang itu membangkitkan minat para pengintip termasuk aku. Dan kuyakin di dalam sana burungku juga niscaya sudah mulai kebasahan. Pada satu kesempatan, Andre melepaskan penisnya dari genggaman liang vagina Irene, dan berbaring di samping tubuh Irene, yang disusul oleh Irene menaiki tubuh Andre. Setelah Irene menyibakkan rambutnya yang kusut ke belakang ia pun mulai mencari dan memperlihatkan pengarahan kepada burung Andre untuk mencapai sarangnya. Sesaat kemudian gerakan mereka kembali berirama dan kulihat rambut Irene kini mulai melekat di tubuhnya yang berkeringat. Hal itu memperlihatkan pemandangan indah tersendiri, terlebih ketika Irene mendongakkan kepalanya meresapi kenikmatan yang datang. Sejurus kemudian Irene membungkukkan tubuhnya ke depan dan bertumpu pada kedua lengannya sementara pinggulnya terus memainkan gerakan indah berirama turun-naik turun-naik berulang-ulang. Irene menarik rambutnya ke depan dan menutupi buah dadanya yang sebelah kiri, tidak terurai oleh lantaran sudah lembap oleh keringat. BONUS JACKPOT

Diterangi cahaya lampu yang minim itu, kini saya sanggup melihat pundak dan punggung Irene yang putih mulus itu mulai berminyak dan timbul bintik-bintik keringat licin yang semakin mengoyak kesetiaan iman. Gerakan semakin binal dan menuju puncak hingga pada suatu titik. "Ren, nyam... pe..." pekik Andre tertahan. Saat itu pula segera Irene melepaskannya dan menyambut semburan kental dari pipa milik Andre ke dalam mulutnya. Masih sempat terlihat semburan yang pertama mengenai muka dan sedikit rambut Irene sebelum seluruhnya karam dalam kegelapan kerongkongan Irene. Setelah melongo beberapa saat, Andre bangun dan mengangkat kaki Irene ke atas dan segera pengecap Andre terjulur memainkan klitoris milik Irene, mulai dari gerakan perlahan namun segera menjadi cepat seiring dengan bahasa tubuh Irene menggeliat kian kemari hingga akhirnya. "Ach... ccchhh," desis Irene yang disertai dengan gerakan kakinya yang mengejang keras lurus ibarat kaki ayam disembelih nikmat yang tiada tara. Dan, "Brukkk..." derit ranjang itu berbunyi pada ketika Andre rubuh menjatuhkan tubuhnya untuk saling berimpit bersentuhan dan menikmati sisa nikmat yang ada bersamanya. Kami semua melongo lantaran demikian terpesona menikmati live show yang gres saja diperagakan lebih nikmat dibandingkan nonton BF yang seringkali kami lihat bersama seusai kuliah ini, Memang asyik lihat langsung, apalagi jika ikutan praktek....hehehe.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerita Seks Pesta Permainan Ngentot Di Kamar Sebelah"

Post a Comment